SIAPA yang menyangka jika di ujung Sumatera Utara, tepatnya di Kab. Mandailing Natal, ternyata adalah surga tersembunyi yang sebenarnya. Bukan. Bukan surga yang mempunyai banyak tempat wisata, bukan pula surga yang banyak memiliki ragam budaya, melainkan surga tempat segala kesulitan jadi tidak ada artinya.
Yah, fakta ini adalah pilihan topik paling seru yang kami perbincangkan ketika dalam perjalanan dari Kabupaten Mandailing Natal menuju perbatasan Sumatera Barat. Saat itu, sopir dari mobil truk bermuatan sawit yang aku tumpangi ialah salah seorang pengamat politik amatiran. Hal ini berani aku simpulkan setelah beliau yang tak ingin disebutkan namanya, mengatakan jika di Sumatera Utara, khususnya kampung halamanku, Mandailing Natal, segala tetek bengek urusan bisa diselesaikan dengan uang. Sialan, bukan?
Aku pribadi tidaklah heran, sebab jika diingat-ingat, menurut catatan KPK, Sumatera Utara memang menduduki posisi ke-4 yang masuk dalam daftar 10 provinsi paling korup setelah Jawa Timur. Tapi maaf, guna menghindari datangnya tukang bakso dadakan di halaman rumah, maka pada tulisan kali ini aku tidak akan mendongengkan soal korupsi apalagi dunia perpolitikan. Tidak akan.
Tapi jangan khawatir. Di kampung halamanku, Mandailing Natal, masih banyak surga-surga lain yang bisa diceritakan. Misalnya saja tentang bagaimana masyarakatnya yang bahagia lahir batin sebab hidup di tengah-tengah ribuan hektar perkebunan kelapa sawit. Bagaimana tidak bahagia? Dengan banyaknya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang memproduksi Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak mentah atau yang biasa disebut Crude Palm Oil (CPO) membuat harga buat sawit benar-benar bersaing ketat. Dan persaingan harga sawit antar pabrik ini adalah sebuah keberkahan tersendiri bagi para pemilik kebun.
Kelapa sawit, selain perawatannya yang mudah, sistem sewa tanah pribadi oleh pabrik (plasma) jugalah yang menjadi kemudahan untuk menghasilkan pundi-pundi uang. Jika tanah dikontrak pabrik, maka tuan takur hanya tinggal terima beres. Cukup ongkang-ongkang kaki dan uang akan datang sendiri. Semakin banyak kebun plasma, akan semakin banyak pula uang yang bertamu ke rekening. Kayalah. Kayalah.
Dan selain daripada itu, luasnya kebun kelapa sawit yang mencapai ribuan hektar (juga) merupakan fasilitas gratis bagi kawula muda untuk menghabiskan malam minggunya dengan masing-masing pasangan. Ini lumrah terjadi. Sebab siapa yang menyangka jika rimbunnya perkebunan kelapa sawit bisa disulap jadi hotel bintang lima. Kenyamanan itu lain persoalan, yang terpenting keamanan. Begitulah kira-kira yang saya pikirkan. Karena sering saya jumpai anak-anak muda yang membawa pasangannya masuk jauh ke dalam gang-gang, jauh ke tengah-tengah perkebunan.
Ah iya, ngomongin soal hotel bintang 5, aku jadi benar-benar penasaran dengan bangunan fisik yang sesungguhnya. Duh, jadi tak sabar ingin keluar dari area perkebunan ini. Pergi menjauh dari perbatasan, terus melaju menuju ke kota-kota tempat bangunan megah berdiri menjulang. Pasti cantik sekali. Seperti gadis-gadis yang tadi malam aku temui di persimpangan jalan.[]
Penulis: Aji Itasda, Penyair, saat ini ia sedang berpetualang menyisiri kota – kota di Pulau Sumatra.