KITA punya masa lalu yang suram. Lebih tiga abad dijajah bangsa asing, salah satunya Belanda. Nenek moyang kita ditindas, diperbudak, kekayaan alam dan kekayaan intelektual kita dikeruk, diangkut, dibawa ke Negeri Kincir Angin itu.
Tetapi sesuram-suramnya masa lalu, tetap ada kenangan yang patut dijemput, ditelusuri jejaknya setelah merdeka. Diambil kembali, dibawa pulang ke Tanah Air, jika perlu membayarnya dengan harga tidak murah. Tak masalah, sebab ada yang lebih berharga dari rupiah.
Tak heran, jika sarjana-sarjana terpelajar Indonesia, hari ini, berbondong-bondong datang ke Belanda, belajar di sana, dan bersungguh-sungguh menelusuri rekam-jejak sejarah bangsa Indonesia, khususnya Minangkabau, terutama di perpustakaan terbesar di negara itu; KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde).
KITLV merupakan Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda dan Inggris (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies), sebuah lembaga ilmiah yang berdiri pada tahun 1851. Lembaga ini bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penelitian ilmu antropologi, ilmu bahasa, ilmu sosial, dan ilmu sejarah yang cakupannya wilayah Asia Tenggara, Oseania dan Karibia. Indonesia, salah satu negara jajahan Belanda, menjadi penelitian lembaga itu. Di masa kolonial, kekayaan intelektual Indonesia berupa manuskrip, buku-buku, dan lainnya, dibawa ke Belanda.
Catatan ini tidak mengulas KITLV, tetapi setidaknya KITLV menjadi pemantik api semangat bagi pencari ilmu untuk menghargai pentingnya arsip dan buku.
Perpustakaan bekerja untuk menyelamatkan masa lalu dan merawat masa depan. Masa lalu dapat dilihat dari arsip-arsip yang tersimpan, usianya telah puluhan bahkan ratusan tahun. Masa depan dapat diterawang melalui buku-buku yang mengandung banyak ilmu serta pengetahuan di dalamnya.
Perpustakaan merupakan pintu masuk peradaban. Dan, Islam pernah jaya dengan peradaban buku. Pusatnya di Baghdad, di bawah pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah, sekitar tahun 665 Hijriah. Hingga akhirnya kejayaan itu hancur lebur dilumat tangan-tangan prajurit Ilkhanate Mongol pimpinan Panglima Perang Hulagu Khan.
Bukan saja menumpahkan genangan darah dan membunuh banyak nyawa, tentara Mongol memusnahkan warisan ilmu pengetahuan yang mahal nilainya; sastra, seni, kebudayaan, filsafat dan khazanah ilmu keagamaan. Toko-toko buku dibakar, perpustakaan-perpustakan dihancurkan, dan semua buku yang ada di negeri itu dibuang ke Sungai Eufrat dan Tigris. Kedua sungai yang semula jernih itu dalam sekejap menghitam akibat bercampur sisa-sisa buku yang dibakar.
Inilah peristiwa kelam masa lalu yang tak dapat dilupakan umat Islam dunia dan ditandai sebagai berakhirnya kejayaan Peradaban Islam yang dibangun melalui peradaban buku.
Masa kelam itu tidak kita harapkan terulang kembali. Saatnya peradaban baru melalui buku harus mulai dibangkitkan (lagi). Caranya dengan mendirikan perpustakaan-perpustakaan, baik di rumah tangga, di lingkungan masyarakat, di lembaga pemerintahan, dan mengisinya dengan banyak buku, baik berbentuk fisik maupun digital. Peradaban akan bangkit asal eksistensi perpustakaan-perpustakaannya dijaga, dan tidak membiarkan buku-bukunya berdebu karena tak dibaca.
Kita patut bersyukur, pemerintah masih peduli terhadap keberadaan buku dan arsip dengan adanya lembaga perpustakaan dan kearsipan yang sistem kerjanya terpusat. Dari Ibu Kota, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, gedung-gedung perpustakaan berdiri megah dan gagah. Buku-buku berbagai judul lengkap, dan jumlahnya tidak sedikit.
Namun, tantangannya tidak ringan, sebab teknologi komunikasi dan informasi kiat pesat, salah satunya internet. Orang semakin enggan memegang buku apalagi membacanya. Orang semakin malas mendatangi perpustakaan, apalagi meminjam buku untuk dibawa pulang. Artinya, jika pengelola perpustakaan tidak aktif dan kreatif, perpustakaan-perpustakaan itu lambat laun akan ditinggalkan, sepi, menjadi museum.
Sudah saatnya pustakawan-pustakawan tidak sekadar bekerja menyusun buku, mendata dan melabeli buku, tetapi juga ikut memikirkan program kreatif apa yang dapat dilakukan agar orang datang berkunjung dan betah berlama-lama duduk di perpustakaan. Program-program itu harus bersifat edukatif dan menyenangkan, dan berkelanjutan, tidak instan.
Kita juga harus menyingkirkan pandangan negatif era Orde Baru bahwa orang-orang yang ditempat-tugaskan di perpustakaan adalah “orang-orang buangan”. Pandangan buruk masa lalu itu harus dihapus dari benak kolektif banyak orang. Itu pikiran keliru. Mengelola perpustakaan adalah memasuki dunia yang keasyikannya tidak ditemui di lembaga lain. Dan, berbahagialah orang-orang yang mengurus perpustakaan.
Mereka bergelut dengan lautan buku. Berenang di lautan ilmu. Sungguh, itu mahanikmat. Tak terkira; tiada tara. Mulia. Tetapi, itu hanya dapat dirasakan bagi orang yang sungguh-sungguh mencintai buku dan suka membacanya.[]
Muhammad Subhan, Penulis dan Pegiat Literasi Nasional. Tinggal di Padang Panjang.