Mengenang Tuanku Bosa XIV, In Memorial Tokoh yang Efektif – Transformatif serta Teo-Humanis (1)

banner 468x60

 

Simpang Empat ARN – Fadlan Maalip lahir di Kampung Koto Dalam, Nagari Talu, Onderafdeling Talamau, Afdeling Pasaman, Ahad 5 Juli 1942. 

Ia diberi nama Fadlan yang bermakna kelebihan, keutamaan, anugerah, nikmat yang besar. Ayahnya bernama Maalip Datuk Sati. Sedangkan ibunya bernama Ny. Hadiah. Ianya dalam keturunan paruik kaum di bawah payung Tuanku Bosa. 

Datuk Sati gelar ayahnya itu termasuk penghulu “andiko nan – 16” (andiko nan onam boleh). Payung pucuk adat kaum suku Mandahiling di Kampung Pinang. Datuk Sati merupakan tokoh modernis pentolan Muhammadiyah yang berpengaruh, lulusan Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi serta pernah menjadi Camat Suko Mananti. Suatu hari dalam kapasitas sebagai Ketua Muhammadiyah Pasaman, ia ditangkap Belanda setelah menyampaikan pidato menggelegar mengenai gerakan Indonesia Merdeka dan basis perjuangaj masyarakat Islam. Datuk Sati dipenjarakan Belanda di Muaro Padang pada tahun 1934. 

“Kulitku agak hitam, tapi ibuku tetap sayang, senang menceritakan dengan seloroh, putranya talambek dibangkik (terlambat diangkat) talampau lamo gorengnyo, agak hanguih (gosong),” ungkap Fadlan  suatu waktu. “Itam (hitam) keretapi, harganya mahal,” seloroh Fadlan lagi. 

Ya, Fadlan terlahir dari keluarga rukun. Terbuka dan bergelimang kasih sayang. Fadlan kecil dan yang bungsu dikatakan gerakannya lincah dan dinamis. Hampir-hampir tak berhenti bergerak dan sangat aktif. Lasak kata orang kampung. Hiperaktif kata orang sekarang. Meski bertubuh kecil, tapi ia berani dibanding anak seusianya. Dalam usia 4 tahun itu ia pernah membunuh ular tampuang sari. Ular itu dipukuli sampai mati dengan menggunakan ranting. 

Fadlan Maalip ialah anak keempat dari delapan bersaudara, terdiri dari: (a) lima orang yang seayah seibu (Maalip Datuk Sati – Hadiah) yakni: 1. Nurmal, 2. Busra  (alm) Kolonel TNI – AU pernah menjadi anggota DPRD Pasaman, 3. Masnun pejabat Bank Indonesia di Jakarta, 4. Fadlan Maalip, 5. Adlan (alm) pernah menjadi dokter di kabupaten Sorolangun dan Merangin. (b) dua orang saudara seayah saja, yaitu: 1. Bukhari pemilik NV. Gunung Pasaman masa kolonial Belanda, 2. Suhaimi, hilang saat agresi II Belanda. (c) satu orang saudara Seibu saja yakni: Abu Namir. 

Dunia kecil Fadlan sama halnya dengan anak-anak seusianya. Senang main halma di beranda rumah neneknya yang lebar. Bermain sembunyi-sembunyian (cirik mancik, petak umpet). Ia acap bermain sembunyi-sembunyian dengan Kisman Tuanku Maulana dikenal dengan Tuanku Putiah Kapalo dari Koto Dalam. Fadlan kecil bermain kejar-kejaran di tepian berumput, tepian sebuah sungai yang tak jauh dari rumahnya. Ia mandi-mandi di sungai. Airnya jernih, asri dan sejuk. Talu yang alami dan lestari sampai meresap di pangkal jantung. 

Fadlan kecil pertamakali melihat oto prah beroda empat saat di Suko Mananti. 

“Bunyinya menderu keras. Menggetarkan tanah. Jembatan batang kelapa tempat saya berdiri berguncang hebat. Sementara, tatapan tentara di dalam bak oto prah luarbiasa menakutkan,” kenangnya. 

Fadlan kecil sudah diramalkan jadi dokter. Ini merujuk Uwan (kakek dari pihak ibu) Marah Angkat yang juga berkulit gelap tetapi jadi Mantari. Marah Angkat sangat terkenal di Talu, Pasaman juga Pariaman. Sebagai dokter keliling yang mengobati cacar dan penyakit lainnya. Menariknya, sambil mengobati orang, Uwan juga sering merontokkan hati perempuan. Sehingga dimana ditugaskan disitu ia mendapatkan istri. 

Fadlan kecil sempat sakit cacar. Cucu mantari cacar kena cacar juga. Tapi begitulah takdir Allah. Tahun 1949, umur Fadlan 7 tahun. Dulu, penyakit cacar tergolong menakutkan dan berbahaya. Bila terlambat divaksinasi, dapar berakhir kematian. Fadlan sebetulnya sudah divaksin dua kali. Tapi tetap kena juga. Ia diobati Yakub, asisten Mantari Uwan Marah Angkat. Uwan tidak ada, sebab karena kejadian beristri banyak, nenek tak membolehkan Uwan pulang ke kampung lagi. 

Fadlan bersekolah di Talu. Ke sekolah saban hari harus menyeberangi sungai yang mengitari Koto Dalam dengan cara menceburkan diri ke dalamnya. 

Tahun 1951 ayahnya Datuk Sati menjadi Camat Talamau, mereka pindah ke rumah di Kampung Pasa Usang. Sekolah Fadlan dipindahkan ke Sekolar Rakyat I Kampung Bangkok, 400 meter dari kantor camat. Fadlan menamatkan sekolah dasarnya di SR tersebut. Fadlan mengingat gurunya Pak Azis dan Kepala sekolahnya Pak Ahmad. 

Tahun 1952, Fadlan diajak Datuk Sati ke Bukittinggi, menginap di hotel Muslim jalan Tembok Kampung Cino. Dalam perjalanan, di Panti, mereka istirahat dan makan siang di rumah makan pak Mangguang. Fadlan sangat terkesan atas sikap ayahnya. Saat itu Fadlan makan duduk berdua satu meja saja dengan ayahnya. Tetapi ketika Pak Mangguang disuruh ayahnya menghitung, ternyata meja lain yang kebetulan saat yang sama diisi pegawai kantor camat juga disuruh hitung juga oleh ayahnya. 

Fadlan mengikuti ujian akhir di SR pada tahun 1954. Ia lulus dalam usia 12 tahun dan melanjutkan sekolah SMP ke Lubuk Sikaping. 

Jarak Talu – Lubuk Sikaping pada masa 1954 itu tidaklah dekat. Belum ada transportasi yang membuatnya jadi dekat ketika itu. Berjalan kaki jadi pilihan. 

Fadlan indekos di rumah Pak Kahar, tukang cukur di Durian Tinggi Lubuk Sikaping. Tukang Cukur itu selalu menyatakan bahwa Fadlan bakal calon dokter, ketika saban melihat kamar Fadlan selalu bersih dan rapi. Betapa ucapan adalah doa yang memiliki pengaruh untuk beralih. Sejak SMP itu Fadlan memantapkan cita-cita, menjadi Dokter. 

Fadlan suka membaca dan telah jadi hobinya sejak kecil. Salah satu artikel yang pernah ia baca lalu memengaruhi cara pandangnya adalah artikel tentang kedewasaan dan perkawinan yang menceritakan sebuah keluarga di Eropa sana, melepaskan anak mereka yang telah menginjak dewasa dan tidak membiayai lagi. Mereka harus mandiri. Menurut Fadlan, ia pun harus begitu pula hendaknya. Lebih-lebih sebagai seorang lelaki Minang. Fadlan memang terkenal sebagai pribadi yang mandiri dan berprestasi. 

Menjelang tamat SMP tahun 1958, PRRI dan Pemerintah Pusat sedang bergolak. Zaman bergolak menurut orang-orang tua. Baru kelas III SMP Fadlan ketika itu dan terpaksa pulang ke Talu sehingga tidak ikut ujian akhir. Di Talu, Fadlan diajak masuk SMA Swasta milik tentara PRRI. Dua minggu kemudian Batalyon Infantri 446 Diponegoro Semarang membebaskan Talu dari PRRI. Dalam kecamuk itu, datang panggilan dari SMA Lubuk Sikaping. 

“Pada waktu itu, keluarga  tidak ada di Talu. Mengungsi ke Rao. Maklum saja, keluarga kami pada waktu itu dicap pendukung Muhammad Natsir, Masyumi. Alias pendukung PRRI,” kenang  Fadlan. 

Fadlan lulus SMA tahun 1962 sebagai lulusan terbaik dan mendapat penghargaan dari Bupati Pasaman. Selama di Lubuk Sikaping, Fadlan indekos di lima keluarga, yakni, rumah Agusman di   Ambacang Anggang, rumah Pak Hadi orangtua Jufri Hadi di Mauh, rumah Pak Kahar di Durian Tinggi, Lapau Nasi Pak Bandaro pasar, rumah Pak Saridin guru ilmu bumi SMP di Kampung Taji belakang pasar.

Bersambung.. 

**(Dikutip dari buku “Talu Pangkal Tali, Indonesia Ujung Kata” 70 tahun Fadlan Maalip Tuanku Bosa XIV, penyusun Yulizar Yunus, dkk, IRESCD Padang, 2012)

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60