Penulis: Novis Satria
SEGELAS air putih diteguk Dalimun sekali minum.
“Haus..!” katanya. Dalimun baru saja usai borongan tiga lagu berturut-turut yang dilantunkannya di sebuah warung kopi yang kebetulan mempunyai fasilitas karaoke itu.
Sudah tiga bulan terakhir ini Dalimun lagi semangat-semangatnya berkaraoke menyanyikan lagu-lagu favoritnya.
Hampir setiap malam dia selalu menyumbangkan dua tiga lagu di warung itu.
Fasilitas karaoke di warung itu baru saja di ganti dengan yang baru. Nirman (yang punya warung kopi) membeli speaker aktif yang komplit dan lebih besar dari sebelumnya lengkap dengan mikropon sensor tanpa kabel. Semenjak kedatangan speaker baru itu, setiap hari pengunjung selalu berkaraoke menunjukkan kebolehannya tak terkecuali Dalimun.
Dalimun memesan kopi gelas ketiga malam itu. Kacang goreng menjadi pasangan kopinya.
Mikrofon karaoke sudah dipegang Marlin Bayo Regar. Marlin pandai sekali bernyanyi dan andalan di warung ini. Khusus Marlin, kopinya selalu gratis oleh yang punya warung dimulai semenjak adanya karaoke di warung itu.
Satu dua lagu dia dendangkan. Lagu ketiga sudah dimulai oleh Marlin Bayo Regar. Kali ini lagu ciptaan dari Rinto Harahap yg berjudul ‘Ayah’. Dengan suara melengking tinggi dan mendayu, Bayo Regar melahap refrein lagu itu dengan merdunya. Semua orang di warung itu ikut menghayati lirik demi lirik yang dilantunkan Marlin.
Termasuk Dalimun.
Dari kejauhan, di sudut warung, Dalimun tertunduk. Dia berusaha membuang muka ke arah dinding.
Dalimun menangis? timbul tanya dalam hatiku.
Karena penasaran, aku mencoba curi pandang. Dan ternyata benar, aku melihat muka yang begitu dalam, larut dan penuh kesedihan. Wajah yang tadi ceria seketika berubah murung setelah Marlin Bayo Regar menyanyikan lagu yang berjudul ‘Ayah’ itu.
Aku diam, mencuri pandang dari jauh.
Mungkin, saat ini dia membayangkan wajah ayah tercintanya?
Ayah yang barangkali tak diingatnya raut mukanya.
Tiga puluh tahun lalu Ayahnya pergi. Tak ada pesan yang ditinggalkan. Dalam bentuk kabarpun tak pernah pulang hingga saat ini. Hidup atau sudah tiadakah ayahnya? Dalimun tidak tahu sama sekali.
Melihat Dalimun seperti itu rasa kesal terhadapnya sirna. Rasa kesal karena Dalimun yang sering sok tahu dan selalu merasa benar atas segala kisah yang dia obral dan diceritakan selama ini walaupun jelas-jelas semua itu hanya bohong belaka.
Kasihan Dalimun, pikirku dalam hati.
Aku pulang lebih dulu malam itu dari warungnya Nirman. Sebelum pulang aku membayar belanja sekaligus tiga gelas kopi Dalimun serta sebungkus rokoknya yang tak bercukai itu.
Aku pulang, dan sebelum tidur terlebih dulu aku berdoa kepada yang Maha Kuasa. Kukirimkan doa buat almarhum ayahku dan juga teruntuk ayahnya Dalimun yang tiada berkabar entah di mana. Hingga aku rebah, aku kalah pada malam yang masih setengah perjalanan.
Bersambung….