SMAN 1 Timpeh, Sekolah di Ladang Sawit: Literasinya Siswanya Menasional, Gurunya ke Luar Negeri

banner 468x60

 

Timpeh, Andalas Raya News|Sekolah ini, termasuk sebuah sekolah yang jauh dari keramaian. Menyebut nama daerahnya saja, bagi sebahagian besar orang di Sumatera Barat, sudah bisa langsung membayangkannya. Sekolah ini berada di tengah perkebunan sawit.

Tak usah dihitung dari Padang, ibukota Sumatera Barat yang berjarak lima sampai enam jam perjalanan dengan mobil ke ibukota Dharmasraya di Pulau Punjung. Dari Pulau Punjung saja, minimal satu jam perjalanan dengan mobil.
“Selamat datang, Abie. Senang bertemu sama Abie,” kata seorang gadis manis bersama seorang lelaki muda menyongsong penulis yang baru turun dari mobil, Jumat pagi itu.

Penulis berjalan ke arahnya. Mereka berdua berlari-lari kecil ke arah penulis. Kami bersalaman. Keduanya bersalam dengan sikap salim.
Penulis langsung menebak keduanya, walau kami belum berkenalan. Si gadis manis berhijab hitam, namanya Erza Abianza. Sang pria, Ikhsan Pirmansyah.
“Alhamdulillah, akhirnya saya bertemu juga dengan kedua anak muda hebat ini,” kata saya sambil menatap Erza, lalu merangkul bahu Ikhsan.
“Jangan begitu, Abie. Semua berkat support Abie juga,” kata Erza.
“Iya. Bu Ningsih banyak cerita tentang Abie,” sambung Ikhsan.

Keduanya kemudian membawa saya ke ruangan majelis guru, kemudian masuk ke ruangan kerja Kepala SMAN 1 Timpeh.
Tak lama berselang, seorang guru masuk. Beliau tampak sangat ceria.
“Selamat datang di sekolah kami, Abie. Akhirnya, kami bisa juga membawa Abie ke sini. Semua guru dan siswa sudah menunggu,” katanya.

Sebelum pertemuan itu, rasanya penulis belum pernah bertemu beliau, tapi penulis yakin, beliau pasti Setya Ningsih SS, guru Sejarah nan hebat dan selalu optimis tersebut.

Dugaan penulis tak keliru. Beliau Setya Ningsih, guru Sejarah SMAN 1 Timpeh. Beliau kemudian mengabarkan agar penulis berkenan menunggu sebentar, sebab Kepala SMAN 1 Timpeh sedang memimpin Pengajian Jumat, sebelum pelajaran dimulai.

Penulis mengenal Setya Ningsih dan Erza Abianza, nyaris secara bersamaan, Oktober 2021. Sampai bertemu di sekolah tersebut, kami belum pernah bertemu sekalipun. Hanya sering komunikasi lewat selular.

Perkenalan kami tidak disengaja. Ketika itu, ada Lomba Menulis Opini tentang Kepahlawanan. Diadakan secara berjenjang. Tingkat provinsi, dilaksanakan Dinas Sosial. Pemenang tingkat provinsi menjadi utusan ke tingkat Nasional.

Penulis salah seorang juri. Lainnya, Jurnalis Paduka Raja (Jurnalis), Yudhi Andoni (Unand) Nova (Dinas Pendidikan Sumbar).
Erza Abianza tampil sebagai juara. Ia menjadi wakil Sumbar. Panitia melalui Putri Yanhelmi, meminta juri untuk memberikan bimbingan pada Erza.

Bimbingan dilakukan dalam bentuk komunikasi selular. Terjadi beberapa kali komunikasi dengan kajian berbeda. Penulis termasuk nyinyir kepada Erza dan guru pembimbingnya.

Ketika lomba ditingkat Nasional, penulis dapat kabar, Erza masuk 10 besar. Kabar itu langsung disampaikan, tapi Setya Ningsih berulang kali menyampaikan kepastian, benarkah kabar itu?
Akhirnya, 10 besar Nasional lakukan presentasi. Satu diantara Erza. Hanya ada dua peserta di luar Pulau Jawa. Satu-satunya di Sumatera.

Beberapa hari kemudian, penulis menerima sebuah pesan masuk. Pengiriman, pada nama dikontak hp, Erza Abianza. Saya buka. Kiranya dalam bentuk vidio.
Dalam vidio hanya ada sebuah laptop sedang terbuka. Ada suara dari vidio tersebut. Diantara kalimat yang sangat jelas karena hanya satu suara itu saja. Bunyinya kira-kira begini; Juara II, Erza Abianza, SMAN 1 Timpeh, Sumatera Barat.

Saya terkejut dan tersentak.
Bersamaan dengan disebutkan namanya, pecahlah sorak kegirangan, isak tangis bahagia, juga ada kalimat takbir yang berulang kali.
Ikhsan Pirmansyah belum penulis kenal sebelumnya. Tapi hanya cerita dari Setya Ningsih. Ia menjadi wakil SMAN 1 Dharmasraya untuk lomba menulis kepahlawanan tingkat Sumbar.

Diadakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Sumatera Barat. Mulanya pengisian ditingkat Cabdin Pendidikan. Ikhsan terpilih menjadi wakil, kemudian berlaga di tingkat Sumbar. Ikhsan juara I. Berbeda dengan Erza, lomba yang diikuti Ikhsan hanya tingkat Sumbar. Tak ada lanjutan ke Nasional.

Beberapa hari setelah Ikhsan juara, Setya Ningsih menghubungi penulis. Beliau mengabarkan hasil yang diperoleh siswanya. Semua siswa dan guru di sekolahnya bahagia dan bangga.
“Saya juga bahagia dan bangga, Bu Ningsih,” kata penulis ketika itu.
Setya Ningsih kemudian menyampaikan ucapan terima kasih kepada penulis. Katanya, semua pesan dan bimbingan yang penulis sampaikan kepada Erza setahun sebelumnya, disampaikan ulang kepada Ikhsan Pirmansyah.
“Terima kasih, Pak Firdaus Abie. Selamat datang di sekolah kami yang jauh dari keramaian ini,” kata Kepala SMAN 1 Timpeh Ida Rosiani, S.Pd yang baru bergabung.

Kepsek nan berpenampilan sederhana namun memancarkan rona keibuan, sangat disenangi guru, pegawai dan peserta didiknya, memiliki impian besar.
“Kami juga ingin berprestasi seperti sekolah lain. Kendati kami jauh dari keramaian, tapi saya punya guru dan pegawai yang hebat-hebat. Siswanya anak-anak yang luar biasa,” katanya.
Banyak kegiatan di sekolah. Semuanya disesuaikan dengan kondisi dan minat serta bakat siswa. Sang Kepsek mengaku, satu persatu mulai mempersembahkan hasil mengembirakan. Salah satunya pengembangan literasi sekolah.

Kata Ida Rosiani, pengembangan literasi sekolah adalah bagian dari upaya penguatan karakter yang berimbas pada mutu pembelajaran.
“Dasar pengembangan literasi adalah membaca. Anak yang suka membaca akan memiliki pengetahuan yang bagus, peka pada lingkungan dan punya analisis yang kuat,” kata Ida yang mengantarkan sekolahnya menjadi Sekolah Penggerak.

Sejumlah program literasi diberikan kepada siswa. Program harian, membaca sebelum belajar. Program mingguan, kunjungan khusus ke perpustakaan. Program bulanan, ada reward kepada siswa. Karya tulis siswa dipasang di perpustakaan. Ada pojok baca yang nyaman.

Tindaklanjut kegiatan tersebut, seluruh guru didorong untuk meningkatkan kualitas diri. Peningkatan tersebut dilaksanakan saat pandemi Covid-19.
“Ketika itu, anak-anak tak ke sekolah, lalu kami memanfaatkan untuk meningkatkan kualitas diri,” katanya.
Ada guru sekolah ini yang memperoleh pendidikan literasi digital ke luar negeri.
Impian berikutnya? “Mengantarkan siswanya lulus sebanyak-banyaknya ke perguruan tinggi favorit dan menyakinkan siswa dan orang tua agar bisa melanjutkan kuliah,” harap Ida Rosiani.

Impian tersebut tidaklah berlebihan. Saat ini tantangan yang dihadapi, banyak anak-anak lebih memilih bekerja di kebun sawit dibanding kuliah.
Beberapa saat kemudian, seorang guru masuk. Beliau mengabarkan, peserta dan siswa sudah siap untuk mengikuti In House Training (IHT) Peningkatan Literasi Guru dan Siswa. Penulis menjadi narasumber tunggal. Materi yang diberikan tak hanya teori menulis, tetapi juga praktek dan motivasi bagaimana menghadirkan kemauan dalam diri guru dan siswa untuk bisa menulis.
Setiap peserta menyerahkan hasil karyanya, kemudian dibahas dan langsung dievaluasi bersama. Sejumlah naskah ternyata ada yang layak muat di media.
“Padahal ini baru pertama kali saya menulis,” kata Fitri Yatul Janah, S.Pd, guru PAI, dan Prafti Widyani Antasi S.Pd seorang guru Matematika, senada.
Kedua tulisan guru ini, kemudian diterbitkan di Posmetro Padang.

Lain halnya dengan Setya Ningsih SS, guru Sejarah. Beliau sudah sering menulis dan menuangkan pokok pikirannya, namun sering kurang percaya diri jika naskah tersebut dibaca orang lain.
“Setelah pelatihan ini, Insya Allah rasa itu sudah berlahan saya hilangkan,” katanya. Tulisan dari hasil pelatihannya, dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar. * [Firdaus Abie]

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60