Oleh: Novissatria
MALAM itu pukul setengah dua dini hari suara gaduh dari kamar sebelah merampas mimpi Dalimun. Di kamar sebelah itu, Ayah dan ibunya terdengar sedang bertengkar hebat. Dalimun yang baru saja terlelap sontak terbangun. Apalagi tak lama setelah itu isak tangisan ibunya terdengar tersedu-sedu dari balik dinding kamar.
Diam-diam Dalimun merayap keluar kamar, menuju ruang tamu. Di atas kursi sudah ada dua tas besar yang terisi penuh.
“Ayah ini mau ke mana?” terbersit tanya dalam hatinya.
Diam-diam Dalimun menarik dua tas besar itu ke kamarnya. Niat dalam hatinya, dengan menyimpan tas itu di kamar, bisa mengurungkan niat ayahnya pergi meninggalkan mereka. Rencana kepergian ayahnya itu dia dengar sendiri disela-sela pertengkaran kedua orangtuanya.
Dari balik dinding suara isak ibunya masih terdengar. Sesekali suara ayahnya menyahut dengan kata-kata dengan nada setengah berbisik.
Dipeluknya tas itu dengan erat. Ia tidak akan melepaskannya. Ayah tidak boleh pergi! Dalam ketidakberdayaannya ikut serta dalam pertengkaran kedua orang tuanya itu, Dalimun tersungkur kalah. Diantara kesedihan dan kerasnya malam yang memaksa kedua bolamatanya tertutup rapat seraya memaksanya kembali ke alam mimpi. Dan diantara buai sedu sedan ibunya dari balik dinding.
Pagi menyapa, Dalimun terbangun.
Tadi dalam tidur serasa nyata ayahnya menciumi dan memeluknya.
Ia segera beranjak dari kasur dan dua tas besar itu sudah dirampas dari pelukannya.
Tas itu sudah tidak tampak lagi!
Ia cari ke setiap sudut ruang rumah, tak ada jejak ayahnya. Dalimun termenung dan merasa tak percaya, Jadi, mungkin aku bermimpi? Bisik Dalimun dalam hatinya mengiringi air matanya yang jatuh perlahan mengantar isak.
Sesegera mungkin dihapusnya buliran tangis. Aku menangis! Bisiknya kemudian sambil beranjak mengecap kopi yang terhidang sedari tadi di hadapannya.
Dalimun di pantai sore itu. Ia membuang pandang ke arah laut lepas. Pantai tempatnya biasa melepas rindu, membuang sampah kehidupan dan mengambil kembali semangat serta keyakinan diri yang terkadang tertingal oleh kerasnya laju kehidupan.
“Sudah tiga puluh tahun berlalu, Yah!” ucapnya kepada senja yang mulai jatuh lalu menunduk.
Tigapuluh delapan tahun usia Dalimun sekarang, ketika jingga keemasan cahaya matahari yang turun di cakrawala membaluri laut. Ia sudah dewasa, tentu saja. Baginya semua kisah yang terjadi tiga puluh tahun yang lalu adalah modal baginya menghadapi kehidupan yang keras ini. Walaupun terkadang datang juga airmata mengingat semua itu. Namun, Dalimun telah terbentuk menjadi manusia yang kuat dan tegar. Laut telah gelap seiring malam tiba memeluk.
“Kan, betul Bang. Cewek itu pacaran sama laki-laki yang kemarin,” ungkap Soleh pada Dalimun yang lesu sembari membuka pembicaraan mereka malam itu di warung kopi tempat biasa kami nongkrong.
Selama percakapan itu hampir hanya kami berdua saja bersama Soleh yang paling banyak berbalas kata. Sedangkan Dalimun cuma sesekali dan itupun cuma sepenggal dua kalimat yang mengandung aroma-aroma kekecewaan.
“Maklum Leh, lagi patah hati dia,” bisik saya pada Soleh sambil saya memonyongkan bibir ke arah Dalimun yang sedari tadi menyandarkan kepala ke tiang penyangga dinding warung kopi itu.
Menurut keterangan berstatus “A satu” dari Soleh sahabatnya Dalimun, ternyata sehabis pulang dari air mancur bersama Yenti (pacarnya Dalimun) malam harinya tanpa alasan yang jelas Ia diputuskan Yenti secara sepihak. Padahal mereka baru saja tiga hari pacaran.
Dan masih menurut informasi dari Soleh juga, tiga hari setelah diterima Yenti sebagai pacar, kemudian mereka pergi jalan-jalan ke Air Mancur dalam rangka memperingati hari jadi mereka.
“Sudah habis uang saya ratusan ribu untuk biaya operasional kencan pertama,” cerita Dalimun pada kami walaupun sebenar kami kurang yakin.
“Sakit rasanya, sakit,” keluh Dalimun menambahkan lagi.
Ternyata Yenti pacaran dengan Dalimun rupanya hanya untuk memanas-manasi mantan pacarnya saja.
“Dan itulah yang paling bikin aku sakit hati. Caranya itu aku ngak bisa terima. Kubalas nanti perbuatan dia!” ungkapnya pada kami dengan muka masam seperti menahan malu dan amarah.
Kasihan Dalimun, dipermainkan, rintihku dalam hati.
“Besok malam kita berangkat, Leh,” ajak Dalimun pada Soleh.
“Ke mana Bang? tanya Soleh.
Adalah, Leh. Kamu ikut saja. Pokoknya mesti kita balas.”
“Jadi Bang,” balas Soleh terima ajakan Dalimun.
“Nggak bisa main kasar, main halus kita Leh, memangnya dia siapa?” lanjut Dalimun mengancam.
Dalam hatiku berkata, pasti Dalimun mau cari dukun.
“Besok jam delapan malam kita berangkat Leh.”
Oke Bang. Siap,” jawab Soleh mengakhiri percakapan mereka sambil berjalan sekitar hampir sepuluhan meter beranjak pulang ke rumahnya.
Dalimun sendiri ikut pulang dan meninggalkan warung dengan langkah gontai. Tak seangkuh langkahnya sewaktu baru saja jadian sama Yenti beberapa waktu yang lalu.
Yenti sukses mempermainkan cinta sucinya Dalimun. Cinta yang sempat merah merekah beberapa hari terakhir kini cinta itu layu berguguran bak bunga sakura pada musim kemarau.
Nirman yang punya warung termenung di balik meja kasir sambil menatapi kepergian Dalimun. Malam itu, barangkali Dalimun telah lupa membayar dua gelas kopi pesanannya serta mie instan rendam dan sebungkus rokok yang tak bercukai. Seperti sudah-sudah.
bersambung.